Monday 12 October 2009

>>>Mimpi Pemburu "Baby" Tuna <<<

Ini Adalah sebuah Kisah Nyata yang meMberI gamBaran Betapa saNgat dIbutUhkan PenGeloLaan SuMber DayA KeLautAn dan PerikaNan Agar dpaT di MAnfaAtkan sebaiK2nyA deMI keseJahteraAn berSma. Betapa tIdak, meLihat sunGGuh Kayanya Laut KiTa, naMun Kita sendIri MasiH "keLapaRAn" deN9an KOndiS yanG ada. Dalam MeterI KuliAh KiTa (kHUsus teman-teman STP ) meMang Ada PenGeloLanan SD KElautAN dan PErikAnan, TaPi aPA HanyA sekeDar MAteri KuLiah Saja. Suatu KonsEp yang beraKhir Pada KertAs, dan ReAlitanya daPAt kIta LihAt sendiri. SmoGA denGAn memBAca ceRita Ini KiTA seBagaI masYaraKat Yang MEnGAku BahWa "NENEK MOYANg seoRang PelaUt bUkan menJAdikAN Kita TaKut Ke-Laut" dan SemAkin sAdar dan meNanAmkan Jiwa meMiliKi LaUt KIta,, SengAja, CeriTa iNI saYa amBil coNtoh pd Daerah senDiri, mUngkIn tiDak meWakili CeriTa2 tenTang 'kekeaYaan Laut yg terpeNdam" di Daerah laen tApi setIdaknyA koNdisI yAng Ada aGaK mirIp denGAn kOndisI LAuT Yang Ada di daerah teman-teman.

Cerita Ini berawal dari seorang Nelayan, Rio Armain (25) bergegas menghampiri salah satu kapal layar motor yang merapat di pesisir Tanjung Keramat, Gorontalo. Ia mengamati isi perahu dari atas tanggul dan kembali untuk mengambil pikulan bambu.
Bersama seorang temannya, Rio memikul seekor tuna sirip kuning yang digantung dengan kepala di bawah. Air laut yang menetes dari mulut tuna membentuk noktah hitam di atas pasir putih. Jejaknya menuju gubuk kecil di depan dermaga.
Di gubuk penampungan ikan itu, tuna ditimbang. Jarum timbangan menunjuk satu garis hitam di antara angka 15 dan 20 kilogram.
”Beratnya hanya 17,5 kg. Ini masih baby tuna. Kalau masih di bawah 30 kg, belum bisa masuk perusahaan,” ujar Rio sambil melepas si bayi tuna dari timbangan.
Siang itu, akhir Agustus 2009, Rio masih menunggu perahu layar motor lainnya pulang melaut. Beberapa kali ia mengamati lautan yang berombak dengan teropong binokulernya. Di kejauhan, layar perahu motor berwarna cerah timbul tenggelam dipermainkan ombak. Perlahan perahu kecil itu berlabuh mendaratkan hasil tangkapannya.

Aktivitas nelayan seperti itu setiap hari terjadi di Desa Tanjung Keramat, Kota Gorontalo. Pada saat musim ombak dan paceklik ikan pun nelayan tetap berusaha mengejar rezeki.
”Saat musim ombak begini yang melaut hanya perahu kecil. Kapal ukuran 5 ton sampai 10 ton tidak melaut. Hasilnya tidak sebanding dengan biaya untuk minyak,” ujar Aten Armain (35), warga Tanjung Keramat yang sudah tiga bulan libur melaut.Nelayan menggunakan perahu katinting untuk berlayar saat musim ombak karena biayanya murah. Pergi-pulang melaut antara pukul 05.00 dan 11.00 Wita, bahan bakarnya tidak lebih dari 20 liter. Penggunaan bahan bakar bisa dihemat dengan bantuan layar. Jika menggunakan kapal tuna berbobot 5 ton, dibutuhkan minimal 200 liter solar atau Rp 900.000 sekali trip untuk dua hari.

Jika dipaksakan melaut, seperti Kapal Motor (KM) Mitra Arjuna akhir Agustus lalu, paling hanya memperoleh enam kotak ikan sekitar 300 kg. Jenis ikan pun bukan tuna dan hanya bisa dijual ke pasar lokal dengan harga Rp 7.000 per kg. Saat musim ikan, mereka bisa memperoleh hingga 15 tuna dengan bobot 5-70 kg per ekor. ”Kami coba-coba saja melaut, siapa tahu sudah ada ikan. Ternyata hanya dapat enam kotak,” ujar Narvis Ibrahim (42), anak buah kapal (ABK) KM Mitra Arjuna yang berpangkalan di Desa Leato Selatan, Kecamatan Kota Timur, Gorontalo.

Dinamika yang melambat akibat musim ombak di permukiman nelayan itu terekam sempurna dari ketinggian tebing di belakang Desa Tanjung Keramat. Puluhan kapal dan katinting parkir di sepanjang pantai karena nelayan libur melaut pada Juni-Agustus. Suasana seperti itu merata di pesisir selatan Gorontalo sampai laut teduh sekitar Oktober.

Aten mengaku, sebenarnya masih ada peluang bagi nelayan memperoleh rezeki pada saat musim ombak. Ia beralih menangkap cumi-cumi selama tiga bulan ini. Ia menggunakan katinting, sejenis perahu motor tempel, yang dipasangi obor minyak tanah untuk menarik cumi-cumi mendekat. Saat bulan gelap ia bisa memperoleh 10 kg. Jika bulan terang, hasil tangkapan hanya 4 kg. Di pelelangan, cumi-cumi dihargai Rp 55.000 tiap ember berisi sekitar 4 kilogram.
”Cumi-cumi masih banyak dan harganya lumayan. Masalahnya sulit memperoleh minyak tanah untuk obor. Saya sudah tiga malam tidak mencari cumi-cumi karena tidak ada minyak tanah,” ujar Aten.
Perubahan pola tangkap juga dilakukan Hamid Dalila (41), warga Desa Pohe, Kota Selatan, Gorontalo. ABK kapal penangkap tuna ini beralih menangkap nener (benih bandeng) di pantai sekitar permukiman. Ia berenang di tepian pantai menggunakan ban dalam mobil untuk memasang jaring nener. Dua kali ia menarik jaring, hasilnya hanya 13 nener.

”Kalau di pinggir begini hanya dapat sisa. Bagusnya agak ke tengah, tetapi saya tidak punya perahu,” ujar Hamid ditemani dua putranya yang masih usia sekolah dasar.
Awal tahun ini, Hamid berharap memperoleh bantuan katinting dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo. Namun, ia tidak memperoleh bantuan itu. Justru nelayan lain yang sudah punya katinting (perahu motor tempel) yang memperoleh. Bahkan, pemilik kapal tuna pun memperoleh bantuan katinting. ”Penyaluran bantuan tidak tepat sasaran. Kami yang belum punya perahu justru tidak dapat bantuan. Sepertinya yang dapat bantuan hanya nelayan yang dekat dengan pemegang proyek,” ujar Makmur Sidiki (44), nelayan asal Pohe.

Sektor perikanan tangkap Provinsi Gorontalo sangat menjanjikan karena berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Teluk Tomini sampai Laut Seram dan WPP Laut Sulawesi sampai Samudra Pasifik. Potensi ikan jenis pelagis dan demersal diperkirakan mencapai 1,226 juta ton per tahun.
Potensi perikanan yang sangat besar itu dijadikan fokus pembangunan Provinsi Gorontalo setelah pertanian jagung.

Namun, sampai 2008 potensi perikanan tangkap baru termanfaatkan 62.921 ton dengan nilai Rp 535,6 miliar. Pemanfaatan potensi perikanan masih rendah, salah satunya disebabkan oleh keterbatasan alat tangkap. Jumlah kapal penangkap ikan pada 2008 yang berlabuh di tempat pelelangan ikan (TPI) dan pelabuhan pendaratan ikan (PPI) hanya 446 unit. Sebagian besar perahu berbobot kurang dari 5 ton, yaitu 351 unit, kapal berbobot 5-10 ton ada 66 unit, dan kapal berbobot 10 ton ke atas hanya 29 unit.
Sutrisno, Wakil Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo, menjelaskan, salah satu langkah untuk meningkatan produksi perikanan adalah pelaksanaan program Taxi Mina Bahari (TMB). Program ini bertujuan memberdayakan nelayan dengan menyediakan seluruh kebutuhan menangkap ikan. Ada dua pola kerja sama TMB dan nelayan, yaitu bagi hasil dan sistem setoran sesuai kontrak.
Sejak diluncurkan pada 2004, nelayan anggota TMB meningkat dari 110 orang menjadi 2.135 orang pada 2008. Alat tangkap jenis katinting ada 756 unit dan 13 kapal mesin dalam berbobot 10 ton. TMB didukung oleh 19 tempat pendaratan dan pelelangan ikan di enam kabupaten/kota serta 11 pabrik es kapasitas 5-10 ton.
”Model TMB ini mengadopsi taksi Blue Bird. Nelayan tugasnya hanya mencari ikan. Seluruh kebutuhan mulai dari kapal, bahan bakar, es, konsumsi, bengkel, hingga penampungan ikan disediakan oleh TMB,” ujar Sutrisno. Saat ini hanya empat TMB yang beroperasi dari 10 TMB yang ada. Enam TMB macet karena nelayan tidak lancar mengembalikan pinjaman operasional. Pemerintah berusaha menggenjot pengembalian pinjaman saat musim ikan sekitar Oktober ini. Nelayan diharapkan bisa mencicil pinjaman hingga tiga kali lipat supaya modal TMB bisa bergulir.
Kendala lain yang dialami TMB, lanjut Sutrisno, adalah belum dapat bahan bakar subsidi untuk nelayan. Pemerintah Provinsi Gorontalo sedang mengusahakan supaya Pertamina mengalokasikan bahan bakar bersubsidi untuk nelayan Gorontalo.
”Pertamina sudah menyetujui alokasi bahan bakar bersubsidi untuk nelayan, tetapi transportasi ditanggung oleh pemerintah daerah,” ujar Sutrisno.
Keberadaan TMB dinilai positif oleh para nelayan karena seluruh kebutuhan sudah tersedia. Harga beli ikan juga lebih tinggi dibandingkan dengan di tengkulak, Rp 28.000 per kg. ”Kalau ada TMB sebenarnya enak karena mudah memperoleh bahan bakar dan jual ikannya cepat. Sayang TMB sudah tidak aktif di sini,” ujar Aten, nelayan Tanjung Keramat.
Para nelayan di Tanjung Keramat mengaku bergantung pada para tengkulak yang menyediakan bahan bakar, es, dan bekal konsumsi. Kelengkapan melaut itu dibayar dari hasil tangkapan ikan.
Nelayan tidak bisa membiayai sendiri keperluan melaut karena modalnya terbatas. Karena itu, mereka berharap ada perbaikan sistem perberdayaan, seperti subsidi bahan bakar dan kapal yang memadai supaya daya jelajahnya lebih jauh.

Mereka berharap Pemerintah Provinsi Gorontalo menunda kerja sama dengan para nelayan dari Jawa yang memiliki keterampilan dan alat tangkap lebih unggul. Kedatangan para nelayan dari luar melalui transmigrasi bahari berpotensi mengerdilkan nelayan lokal yang masih membutuhkan pemberdayaan. Jika nelayan lokal harus bersaing dengan nelayan pendatang yang lebih unggul peralatan dan keterampilannya, pembangunan perikanan tangkap di Gorontalo tidak akan dinikmati oleh masyarakat lokal.

Mengenai kerja sama dengan nelayan dari Jawa untuk menggenjot produksi perikanan tangkap, Sutrisno berjanji akan menerapkan sistem yang adil. Nelayan pendatang dan lokal didorong untuk bekerja sama hingga terjadi transfer keterampilan. Di sisi lain, pemerintah terus meningkatkan kemampuan nelayan melalui program pemberdayaan.
Nelayan kecil di Gorontalo berharap program pemberdayaan terlaksana. Harapan mereka sederhana, bisa ikut menikmati kekayaan Teluk Tomini dan Laut Sulawesi yang berlimpah ikan. Mereka mau menjadi penangkap tuna, bukan baby tuna. Kini, mimpi para nelayan itu masih terombang-ambing ombak Teluk Tomini, menunggu uluran tangan pemerintah.

Nah, SeteLah memBaca ceriTa diAtas ada beberepa kata kunci yng harus kita sIkapi seprTi Musim omBak yang membuat Nelayan lokal kesuliTAn meLaut, apaLagi menGGunakan peRahu KecIl,, DiperLUkan alternaTif LAin uNtuk NelayAn yg tIdK meLAut, PerMasaLahan baRu yang munCul Yakni KEgiAtN aPa Yang akN diLakUkan Untuk MenggAnti neLAyan Untuk MelaUt dan Apa reAksi Para NElayAN meNeriMA ataw tiDAK kOndiSi DemikiAn ???,, PruBAhaN POla TangKAp MungKin BisA meMbantu neLAyan, Tapi dengan moDal KApaL KecIl serTa penGetahuan yg MinIM apakah akan Bisa MEmecaHkan MAsaLAh terseBUt ??? subsidi dan DistriBusi darI pemerIntah seOlah-Olah "memanJaKan" neLayan LokaL sehiNgGa apAbilA dAtaNG sauTu MAsaAlah maka berharap program pemberdayaan terlaksana unTuk MereKa tanPa berUsaHa senDiri Untuk MencOba menCari AlterNAtif pemecahan mAsalH yang ada, tradIsi MenTal sPerti Ini yanG aPAbilA selLAu di BudidaYakan Maka akan MenJAdi KebiAsaaN yg SulIt diLepas oleh nelAyan LokAl seHInggA seLaLu "MenUng9U daTangNya MukjIzaT" Yg dApAt meNgelUArkn meReKa darI kondIsi sperti itu. ProGram PeMeriNtah ???

KomenTar temaN-temAn sepertI apA??
iNgat denGan 5 W+ 1H...